Menapaki Jalan Kegelapan, Krisis Kesejahteraan Guru dan Perjuangan Akses Pendidikan di Tanah Air

Menapaki Jalan Kegelapan, Krisis Kesejahteraan Guru dan Perjuangan Akses Pendidikan di Tanah Air

Smallest Font
Largest Font

JAKARTA - Pendidikan, Sebuah landasan megah yang menjadi tonggak utama pembangunan negara kita. Kata yang melekat erat dengan mimpi, aspirasi, dan harapan. Sebuah pilar utama dalam pembangunan suatu negara, sebuah jalan yang mengantarkan generasi penerus menuju cakrawala pengetahuan dan kemajuan. Tapi, coba kita renungkan sejenak. Di negeri kita tercinta, meski banyak hal yang telah dicapai, masih ada tantangan besar yang menanti untuk ditaklukkan.

Salah satunya? Kesejahteraan para pahlawan tanpa tanda jasa: guru-guru kita. Mereka yang dengan setia berjuang di garda terdepan pendidikan, masih terus berhadapan dengan masalah kesejahteraan yang tak sebanding dengan peran mereka. Ini bukan hanya soal gaji, tapi juga tentang apresiasi dan semangat yang mereka butuhkan untuk terus memberikan yang terbaik.

Gaji guru honorer? Jangan tanya! Sungguh memprihatinkan. Mereka, yang seharusnya menjadi pionir pengetahuan, seringkali harus bertarung demi bertahan dengan bayaran jauh di bawah standar Upah Minimum Regional. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa rata-rata gaji guru honorer hanya sekitar Rp1.817.000 per bulan. Angka ini jelas sangat jauh dari rata-rata gaji nasional untuk semua profesi. Menyesakkan, bukan? Ketidakadilan ini bukan hanya masalah personal bagi para guru, tetapi juga berpotensi merusak kualitas pendidikan secara keseluruhan. Kesenjangan besar antara kesejahteraan guru honorer dan guru PNS menjadi tantangan nyata yang harus segera diatasi.

Belum selesai soal gaji guru yang “menyesakkan”, jangan abaikan peran penting para "pelaku seni" di balik tirai gelap: para oknum guru yang mengejar keuntungan pribadi dengan merusak martabat profesi mereka melalui korupsi, kolusi dan nepotisme. Dengan tindakan mereka, budaya hitam korupsi terus berkembang, menghancurkan citra guru yang seharusnya menjadi panutan bagi generasi penerus. Namun, siapa yang menderita akibatnya? Pastinya bukan mereka, melainkan siswa-siswa yang kehilangan contoh teladan yang seharusnya mereka ikuti.

Namun, persoalan ini tak sekadar tentang gaji dan integritas semata. Akses terhadap pendidikan terasa seperti mimpi di siang bolong di beberapa bagian negeri ini. Infrastruktur yang memprihatinkan, jarak yang memisahkan, semuanya menjadi dinding besar bagi mereka yang haus akan ilmu. Bagi sebagian anak-anak, sekolah yang layak masih merupakan keinginan yang jauh dari realitas, seperti mengejar bayang-bayang di padang pasir yang tandus.

Pemerintah? Tampaknya masih banyak yang kurang dalam menangani masalah ini. Kesejahteraan guru, akses pendidikan, pengetahuan masyarakat—semuanya terabaikan. Pemerintah harus lebih tegas, lebih gesit dalam mengatasi persoalan ini. Peningkatan gaji, perbaikan fasilitas, investasi infrastruktur—ini bukan waktu untuk mengantuk!

Kalau tak segera bertindak, pendidikan kita akan tetap terombang-ambing dalam lautan tantangan yang sama. Jadi, segeralah ambil tindakan nyata sebelum terlambat. Karena masa depan negeri ini bergantung pada apa yang kita tanam hari ini.

Oleh: Apriansyah Wijaya, Ketua Komisariat GMNI UIN Jakarta

*** Rei ||Red

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
Redaksi Author

What's Your Reaction?

  • Like
    5
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    1
    Sad
  • Wow
    0
    Wow